
Judul : Matahariku
Chapter 13 :
Author : Kakashy Kyuuga
Disclsimer : Naruto punya om Masashi ^_^
Genre : hurt and romance.
Pairing : Naruhina
Hinata masih terdiam sambil menatap sedih wajah naruto yang tenang dalam tidurnya, dia mencoba menggenggam tangan Naruto namun segera dia urungkan niatnya. Akhirnya dia hanya menunduk, menghitung berapa banyak ubin di kamar Naruto.
“Naruto-kun, mengapa kau lakukan semua ini padaku?”
“Kenapa kau menyembunyikan penyakitmu dariku?”
“Kenapa kau menanggung penderitaanmu sendirian?”
“Kenapa kau_______”
“Sebanyak itukah pertanyaan yang harus aku jawab?”
Hinata tersentak dari kegiatan menghitungnya begitu dia mendengar suara Naruto.
“Na-Naruto-kun” Hinata tak percaya melihat Naruto sekarang menatapnya dengan pandangan sayu.
“Maafkan aku, karena menyembunyikan penyakitku darimu” kata Naruto.
“Na-Naruto-kun” sungguh, Hinata tak tahu harus mengatakan apa, dia hanya bisa mengucapkan nama Naruto berulang-ulang kali.
“Aku tak ingin kau bersedih setelah apa yang aku janjikan padamu”
“Tapi tetap saja kau tak boleh menyembunyikan semua ini dariku, kau telah menanggung kesedihanku seorang diri. Sementara aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu” kata Hinata penuh penyesalan.
Tangan naruto bergerak menyentuh pipi Hinata. “Kau tak boleh menyalahkan dirimu, disini bukan kau yang sepenuhnya bersalah. Aku lah yang bersalah”
Hinata memegang tangan Naruto dan menekankan tangan Naruto di pipinya. “JIka aku nanti mati, aku ingin mati bersamamu” kata Hinata mulai terisak.
“Kau tak boleh berkata seperti itu, hidup mati kita bukan kita yang tentukan. Kita tidak bisa seenaknya menetukan kematian kita, jika kita di takdirkan bersama kematian bukanlah penghalang”
Hinata makin terisak mendengar kata-kata Naruto. “Kematian bukanlah penghalang”, kau benar Naruto. “Tapi, aku takut kehilangan dirimu” balas Hinata.
“Aku sudah bilang padamu, aku tak akan membiarkan mu sendiri. Apalagi meninggalkan mu” Naruto mencoba menghibur Hinata.
“Hiks, hiks, tapi-tapi____”
“Hinata, percayalah. Aku tak akan membiarkanmu sendiri” kata Naruto seraya menyeka air mata yang mengalir dipipi Hinata.
“Hiks, hiks, hiks____, Naruto-kuuuunnn~~~~” isak Hinata, kemudian dia menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Naruto dan menangis sejadinya.
Dua hari telah berlalu, selama dua hari itu Hinata selalu datang menjenguk Naruto di rungannya. Hari ini Naruto masih berbaring di atas ranjangnya, dan Hinata menemaninya duduk di sampingnya. Semantara teman-teman naruto yang lain sepertinya mengerti dengan kondisi Naruto, jadi mereka sengaja tak datang menjenguk Naruto.
“Teman-teman yang pengertian” inner Naruto saat berduaan dengan Hinata tanpa gangguan dari teman-temannya.
“Hinata-chan, apa kau tak melakukan perawatan hari ini?” Tanya Naruto bingung karena biasanya pada hari rabu dalam seminggu Hinata akan melakukan pencucian darah.
“Hari ini, aku tidak melakukan pencucian darah” jawab Hinata.
“Kenapa?”
“Karena aku semakin membaik_____”
Flashback: on
Di ruangan Hinata, seorang pemuda bermabut coklat panjang tertunduk lemas sambil meramas rambut indahnya yang tergerai begitu saja, tattoo di sepanjang jidatnya membuatnya terkesan keren.
“Nii-san, aku tak apa-apa. aku bisa keluar dari rumah sakit ini dan melakukan perawatan dengan cara rawat jalan atau cara tradisional” kata Hinata terdengar tegar.
“Tidak, aku tidak akan membiarkanmu terlantar tanpa perawatan medis. Aku akan mencari uang yang banyak untuk membiayai perawatan mu” pemuda itu menatap tenang pada adik perempuan sematang wayangnya.
Hinata terpaku melihat kegigihan nii-sannya dalam membiayai perawatannya yan terbilang sangat mahal, sementara mereka bukanlah dari keluarga konglomerat. Untuk membiayai perwatannya, Neji bekerja tak mengenal waktu. Bahkan untuk menjenguk Hinata saja dia tak punya waktu, waktu baginya adalah nyawa Hinata. Jika dia kehilangam semenit dalam mencari uang maka nyawa Hinata adalah taruhannya.
“Maafkan aniki mu yang tak berguna ini, Hinata. Aku tidak bisa menjaga mu dengan baik, aku tak bisa memenuhi kebutuhan perawatanmu” kata Neji sedih.
“Nii-san___”
“Kau tak perlu terbebani dengan masalahku, biar aku yang menyelesaikan masalahku ini sendiri. Dan kau fokuslah pada perawatanmu” akhirnya Neji mengambil keputusan sebelum akhirnya dia meninggalkan ruangan Hinata dengan berat hati.
Flashback: off
……………………………………………………..
“Karena aku semakin membaik, jadi aku tidak harus melakukan pencucian darah setiap minggu” jawab Hinata dengan senyum yang dibuat-buat.
“Benarkah? Bukan kah itu berita bagus! Bagaimana jika kita merayakannya” kata Naruto bersemangat mengetahui kesembuhan Hinata.
“Itu tidak perlu, Naruto-kun” jawab Hinata kalang kabut.
“Tidak bisa, Hinata-chan. Kita harus merayakannya____”
Kata-kata Naruto tertahan dan kesenangan mereka terganggu dengan kehadiran Sakura yang seenak jidatnya membuka pintu tanpa di ketuk.
“Sa-sakura-chan, ada apa?” Tanya Hinata melihat wajah Sakura memucat.
“Sakura-san, apa yang kau lakukan. Tak bisakah kau mengetuk pintu dulu!” protes Naruto sekaligus melampiaskan kekesalannya.
Namun sakura mengabaikan emosi sesaat naruto dan berlari memeluk Hinata, tentu saja hal itu membuat Hinata maupun Naruto bertanya-tanya.
“A-ada apa ini, Sakura-chan?” Tanya Hinata ta
k menegrti dengan sikap Sakura yang tiba-tiba datang dan memeluknya.
“Hiks, hiks, hiks,____” tangis Sakura membuat Naruto sedikit kesal.
“Ada apa Sakura-san? Kenapa kau menangis seperti ini, apa yang terjadi?” Tanya naruto.
“Hi-Hinata, hiks. Neji, Neji____”
Mendengar nama Neji disebutkan oleh Sakura, ada perasaan aneh yang menyergap hatinya. Dia melepaskan pelukan Sakura dan menatap dalam-dalam iris emerald Sakura.
“Neji nii-san kenapa, Sakura-chan?”
Naruto masih mengolah peristiwa yang dia lihat, dia masih belum mengerti apa yang terjadi saat ini. Karena itu dia tak banyak bereaksi.
“Neji, kecelakaan. Dan, dia____ dia____”
Tidak!
Ini tidak mungkin terjadi pada Hinata, ini pasti bohong! Atau author salah ngetik! Iya, kan? Tidak, itu benar. Apa yang dikatakan sakura adalah benar, Neji mengalami kecelakaan dan____.
“Neji nii-san tidak mungkin meninggal, dia tidak mungkin meninggalkan aku sendirian. Ini tidak benar, ini tidak benar!” teriak Hinata kemudian dia berlari keluar.
“Hinata!” panggil Naruto dan Sakura bersamaan.
…………………………………………………………………………………….
Hinata menatap tak percaya pada seonggok mayat di atas ranjang, kain yang menutupi seluruh tubuh sosok itu menyisahkan sedikit helaian rambut panjang berwarna coklat. Hinata melangkah pelan mendekati sosok itu, ada rasa taku di dalam dirinya. Bagaimana jika itu benar, bagaimana jika mayat itu adalah anikinya.
Hinata tak sanggup membayangkannya, dia tak sanggup membayangkan jika itu adalah Neji. Dia tidak tahu, apakah dia sanggup menerima semua ini.
Tidak, dia tidak ingin membayangkannya.
Udara dingin menyeruak keluar dari pendingin udara menambah kesan suram, kesunyian seakan memanggilnya ikut kedalam kehampaan. Tak ada, tak ada lagi cahaya di dalam mata pucat Hinata. Cahaya yang selalu dia perlihatkan kini meredup bahkan hampir menhilang bersama anikinya.
Air matanya mengalir membasahi pijakannya, menggenang dalam kedukaan. Hinata kini meratapi kepergian keluarga satu-satunya, menangisi takdir yang tak perpihak padanya. Menyalahkan keegoisannya, dia keluarkan semua unek-uneknya melalui tangisannya.
Tangis Hinata memecah, meramaikan suasana kamar mayat yang sepi. Menggetarkan udara dan beresonansi hingga ke dimensi lain. Tangis Hinata masih mengalun, menyanyikan syair kehampaan.
Hinata, kini dia merasa dirinya benar-benar hampa.
“Hiks, hiks, hiks. Kenapa kau pergi juga? Hiks, hiks, hiks, Kenapa kau pergi lebih dulu dariku? Ke-kenapa?” ratap Hinata.
“Nii-san, selama hidupmu kau selalu menderita karena ku, kini kau meninggal juga karenaku. Nii-san~~~”
“Kalau saja saat itu aku jadi mati, saat ini Neji nii-san pasti tak akan seperti ini!” sesal Hinata karena tak jadi bunuh diri pada malam itu (chap 1).
“Hinata!”
Hinata menundukan wajahnya begitu mendengar suara baritone Naruto. Entah apa yang membuat dia lebih memilih menghitung ubin dari pada melihat wajah Naruto.
“Jadi, selama ini kau tak menganggap ku ada?” Kali Hinata ingin menangis, dia ingin berteriak. Tapi suaranya tertahan di tenggorokannya.
“Hinata” suara Naruto makin terdengar dekat di balik punggung Hinata.
“Kematian seseorang telah di tentukan, cepat atau lambat Neji juga akan mati. Begitupun dengan kita berdua, kematian kita mungkin sebentar lagi atau beberapa tahun lagi, siapa yang tahu” kata Naruto seraya memegang pundak Hinata, membuat Hinata tersentak dan mengangkat wajahnya.
“ Jangan kau sesali dan menyalahkan dirimu atas kematiannya” lanjut Naruto sambil membalikan tubuh Hinata agar berhadapan dengannya.
“Masih ada aku bersama mu, ingat itu. Kau tak sendirian, ada aku yang akan menyayangimu dan membuat hidup mu lebih berarti”
Hinata membuang wajahnya dari Naruto, hatinya terasa sakit melihat Naruto. Karena dia teringat akan penyakit Naruto yang membuat dia bisa kapan saja pergi meninggalkannya juga.
“Kau tak tahu, bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang kau sayangi, Naruto-kun”
Naruto meramas pundak Hinata. “Aku tahu, aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kau sayangi” batin naruto.
“Karena itu aku tidak ingin kehilangan dirimu, Hinata-chan” kata naruto seraya menarik Hinata kedalam pelukannya.
Hinata membenamkan kepalanya pada dada bidang Naruto, dia membiarkan air matanya mengalir membasahi baju Naruto.
“Kau ingin melihat nii-sanmu untuk terakhir kalinya?” Tanya Naruto.
Tangis Hinata tiba-tiba mereda, meninggalkan isakan. Hinata mencoba mengumpulkan keberaniannya, mencoba menguatkan hatinya jika memang benar jenazah itu adalah oniisannya. Tapi Hinata tetap harus melihatnya, meski itu berat.
Anggukan pelan Hinata memberikan tanda pada Naruto jika dia sudah siap melihat mayat oniisannya. Tangan kekar Naruto memegang erat pundak Hinata, meski Hinata mengangguk yakin, Naruto tahu dia tidak lah akan kuat.
Perlahan-lahan tangan Hinata membuka kain penutup jenazah yang menutupi seluruh tubuh kaku di depannya. Surai coklat panjang pertama-tama menyapa penglihatan Hinata, kemudian napasnya tertahan, detak jantungna berdetak kencang memompa seluruh darah kepalanya hingga membuat kepalanya terasa membesar.
Hinata melangkah mundur cepat namun tangan naruto menahannya agar tetap berdiri ditempatnya. Tangis Hinata mulai memecah tanpa di perintahkan, dia membalikan badannya dan memeluk dada Naruto.
“Tidak mungkin! Itu tidak mungkin Neji nii-san kan, Naruto?” Tanya Hinata diantara tangisnya tak percaya yang dia lihat adalah onii-sannya.
“Kau harus relakan onii-sanmu, Hinata” kata Naruto menenangkan Hinata dengan balas memeluknya.
“Tidak! Tidak, ti_____” akhirnya Hinata pingsan.
Chapter 13 :
Author : Kakashy Kyuuga
Disclsimer : Naruto punya om Masashi ^_^
Genre : hurt and romance.
Pairing : Naruhina
Hinata masih terdiam sambil menatap sedih wajah naruto yang tenang dalam tidurnya, dia mencoba menggenggam tangan Naruto namun segera dia urungkan niatnya. Akhirnya dia hanya menunduk, menghitung berapa banyak ubin di kamar Naruto.
“Naruto-kun, mengapa kau lakukan semua ini padaku?”
“Kenapa kau menyembunyikan penyakitmu dariku?”
“Kenapa kau menanggung penderitaanmu sendirian?”
“Kenapa kau_______”
“Sebanyak itukah pertanyaan yang harus aku jawab?”
Hinata tersentak dari kegiatan menghitungnya begitu dia mendengar suara Naruto.
“Na-Naruto-kun” Hinata tak percaya melihat Naruto sekarang menatapnya dengan pandangan sayu.
“Maafkan aku, karena menyembunyikan penyakitku darimu” kata Naruto.
“Na-Naruto-kun” sungguh, Hinata tak tahu harus mengatakan apa, dia hanya bisa mengucapkan nama Naruto berulang-ulang kali.
“Aku tak ingin kau bersedih setelah apa yang aku janjikan padamu”
“Tapi tetap saja kau tak boleh menyembunyikan semua ini dariku, kau telah menanggung kesedihanku seorang diri. Sementara aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu” kata Hinata penuh penyesalan.
Tangan naruto bergerak menyentuh pipi Hinata. “Kau tak boleh menyalahkan dirimu, disini bukan kau yang sepenuhnya bersalah. Aku lah yang bersalah”
Hinata memegang tangan Naruto dan menekankan tangan Naruto di pipinya. “JIka aku nanti mati, aku ingin mati bersamamu” kata Hinata mulai terisak.
“Kau tak boleh berkata seperti itu, hidup mati kita bukan kita yang tentukan. Kita tidak bisa seenaknya menetukan kematian kita, jika kita di takdirkan bersama kematian bukanlah penghalang”
Hinata makin terisak mendengar kata-kata Naruto. “Kematian bukanlah penghalang”, kau benar Naruto. “Tapi, aku takut kehilangan dirimu” balas Hinata.
“Aku sudah bilang padamu, aku tak akan membiarkan mu sendiri. Apalagi meninggalkan mu” Naruto mencoba menghibur Hinata.
“Hiks, hiks, tapi-tapi____”
“Hinata, percayalah. Aku tak akan membiarkanmu sendiri” kata Naruto seraya menyeka air mata yang mengalir dipipi Hinata.
“Hiks, hiks, hiks____, Naruto-kuuuunnn~~~~” isak Hinata, kemudian dia menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Naruto dan menangis sejadinya.
Dua hari telah berlalu, selama dua hari itu Hinata selalu datang menjenguk Naruto di rungannya. Hari ini Naruto masih berbaring di atas ranjangnya, dan Hinata menemaninya duduk di sampingnya. Semantara teman-teman naruto yang lain sepertinya mengerti dengan kondisi Naruto, jadi mereka sengaja tak datang menjenguk Naruto.
“Teman-teman yang pengertian” inner Naruto saat berduaan dengan Hinata tanpa gangguan dari teman-temannya.
“Hinata-chan, apa kau tak melakukan perawatan hari ini?” Tanya Naruto bingung karena biasanya pada hari rabu dalam seminggu Hinata akan melakukan pencucian darah.
“Hari ini, aku tidak melakukan pencucian darah” jawab Hinata.
“Kenapa?”
“Karena aku semakin membaik_____”
Flashback: on
Di ruangan Hinata, seorang pemuda bermabut coklat panjang tertunduk lemas sambil meramas rambut indahnya yang tergerai begitu saja, tattoo di sepanjang jidatnya membuatnya terkesan keren.
“Nii-san, aku tak apa-apa. aku bisa keluar dari rumah sakit ini dan melakukan perawatan dengan cara rawat jalan atau cara tradisional” kata Hinata terdengar tegar.
“Tidak, aku tidak akan membiarkanmu terlantar tanpa perawatan medis. Aku akan mencari uang yang banyak untuk membiayai perawatan mu” pemuda itu menatap tenang pada adik perempuan sematang wayangnya.
Hinata terpaku melihat kegigihan nii-sannya dalam membiayai perawatannya yan terbilang sangat mahal, sementara mereka bukanlah dari keluarga konglomerat. Untuk membiayai perwatannya, Neji bekerja tak mengenal waktu. Bahkan untuk menjenguk Hinata saja dia tak punya waktu, waktu baginya adalah nyawa Hinata. Jika dia kehilangam semenit dalam mencari uang maka nyawa Hinata adalah taruhannya.
“Maafkan aniki mu yang tak berguna ini, Hinata. Aku tidak bisa menjaga mu dengan baik, aku tak bisa memenuhi kebutuhan perawatanmu” kata Neji sedih.
“Nii-san___”
“Kau tak perlu terbebani dengan masalahku, biar aku yang menyelesaikan masalahku ini sendiri. Dan kau fokuslah pada perawatanmu” akhirnya Neji mengambil keputusan sebelum akhirnya dia meninggalkan ruangan Hinata dengan berat hati.
Flashback: off
……………………………………………………..
“Karena aku semakin membaik, jadi aku tidak harus melakukan pencucian darah setiap minggu” jawab Hinata dengan senyum yang dibuat-buat.
“Benarkah? Bukan kah itu berita bagus! Bagaimana jika kita merayakannya” kata Naruto bersemangat mengetahui kesembuhan Hinata.
“Itu tidak perlu, Naruto-kun” jawab Hinata kalang kabut.
“Tidak bisa, Hinata-chan. Kita harus merayakannya____”
Kata-kata Naruto tertahan dan kesenangan mereka terganggu dengan kehadiran Sakura yang seenak jidatnya membuka pintu tanpa di ketuk.
“Sa-sakura-chan, ada apa?” Tanya Hinata melihat wajah Sakura memucat.
“Sakura-san, apa yang kau lakukan. Tak bisakah kau mengetuk pintu dulu!” protes Naruto sekaligus melampiaskan kekesalannya.
Namun sakura mengabaikan emosi sesaat naruto dan berlari memeluk Hinata, tentu saja hal itu membuat Hinata maupun Naruto bertanya-tanya.
“A-ada apa ini, Sakura-chan?” Tanya Hinata ta
k menegrti dengan sikap Sakura yang tiba-tiba datang dan memeluknya.
“Hiks, hiks, hiks,____” tangis Sakura membuat Naruto sedikit kesal.
“Ada apa Sakura-san? Kenapa kau menangis seperti ini, apa yang terjadi?” Tanya naruto.
“Hi-Hinata, hiks. Neji, Neji____”
Mendengar nama Neji disebutkan oleh Sakura, ada perasaan aneh yang menyergap hatinya. Dia melepaskan pelukan Sakura dan menatap dalam-dalam iris emerald Sakura.
“Neji nii-san kenapa, Sakura-chan?”
Naruto masih mengolah peristiwa yang dia lihat, dia masih belum mengerti apa yang terjadi saat ini. Karena itu dia tak banyak bereaksi.
“Neji, kecelakaan. Dan, dia____ dia____”
Tidak!
Ini tidak mungkin terjadi pada Hinata, ini pasti bohong! Atau author salah ngetik! Iya, kan? Tidak, itu benar. Apa yang dikatakan sakura adalah benar, Neji mengalami kecelakaan dan____.
“Neji nii-san tidak mungkin meninggal, dia tidak mungkin meninggalkan aku sendirian. Ini tidak benar, ini tidak benar!” teriak Hinata kemudian dia berlari keluar.
“Hinata!” panggil Naruto dan Sakura bersamaan.
…………………………………………………………………………………….
Hinata menatap tak percaya pada seonggok mayat di atas ranjang, kain yang menutupi seluruh tubuh sosok itu menyisahkan sedikit helaian rambut panjang berwarna coklat. Hinata melangkah pelan mendekati sosok itu, ada rasa taku di dalam dirinya. Bagaimana jika itu benar, bagaimana jika mayat itu adalah anikinya.
Hinata tak sanggup membayangkannya, dia tak sanggup membayangkan jika itu adalah Neji. Dia tidak tahu, apakah dia sanggup menerima semua ini.
Tidak, dia tidak ingin membayangkannya.
Udara dingin menyeruak keluar dari pendingin udara menambah kesan suram, kesunyian seakan memanggilnya ikut kedalam kehampaan. Tak ada, tak ada lagi cahaya di dalam mata pucat Hinata. Cahaya yang selalu dia perlihatkan kini meredup bahkan hampir menhilang bersama anikinya.
Air matanya mengalir membasahi pijakannya, menggenang dalam kedukaan. Hinata kini meratapi kepergian keluarga satu-satunya, menangisi takdir yang tak perpihak padanya. Menyalahkan keegoisannya, dia keluarkan semua unek-uneknya melalui tangisannya.
Tangis Hinata memecah, meramaikan suasana kamar mayat yang sepi. Menggetarkan udara dan beresonansi hingga ke dimensi lain. Tangis Hinata masih mengalun, menyanyikan syair kehampaan.
Hinata, kini dia merasa dirinya benar-benar hampa.
“Hiks, hiks, hiks. Kenapa kau pergi juga? Hiks, hiks, hiks, Kenapa kau pergi lebih dulu dariku? Ke-kenapa?” ratap Hinata.
“Nii-san, selama hidupmu kau selalu menderita karena ku, kini kau meninggal juga karenaku. Nii-san~~~”
“Kalau saja saat itu aku jadi mati, saat ini Neji nii-san pasti tak akan seperti ini!” sesal Hinata karena tak jadi bunuh diri pada malam itu (chap 1).
“Hinata!”
Hinata menundukan wajahnya begitu mendengar suara baritone Naruto. Entah apa yang membuat dia lebih memilih menghitung ubin dari pada melihat wajah Naruto.
“Jadi, selama ini kau tak menganggap ku ada?” Kali Hinata ingin menangis, dia ingin berteriak. Tapi suaranya tertahan di tenggorokannya.
“Hinata” suara Naruto makin terdengar dekat di balik punggung Hinata.
“Kematian seseorang telah di tentukan, cepat atau lambat Neji juga akan mati. Begitupun dengan kita berdua, kematian kita mungkin sebentar lagi atau beberapa tahun lagi, siapa yang tahu” kata Naruto seraya memegang pundak Hinata, membuat Hinata tersentak dan mengangkat wajahnya.
“ Jangan kau sesali dan menyalahkan dirimu atas kematiannya” lanjut Naruto sambil membalikan tubuh Hinata agar berhadapan dengannya.
“Masih ada aku bersama mu, ingat itu. Kau tak sendirian, ada aku yang akan menyayangimu dan membuat hidup mu lebih berarti”
Hinata membuang wajahnya dari Naruto, hatinya terasa sakit melihat Naruto. Karena dia teringat akan penyakit Naruto yang membuat dia bisa kapan saja pergi meninggalkannya juga.
“Kau tak tahu, bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang kau sayangi, Naruto-kun”
Naruto meramas pundak Hinata. “Aku tahu, aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kau sayangi” batin naruto.
“Karena itu aku tidak ingin kehilangan dirimu, Hinata-chan” kata naruto seraya menarik Hinata kedalam pelukannya.
Hinata membenamkan kepalanya pada dada bidang Naruto, dia membiarkan air matanya mengalir membasahi baju Naruto.
“Kau ingin melihat nii-sanmu untuk terakhir kalinya?” Tanya Naruto.
Tangis Hinata tiba-tiba mereda, meninggalkan isakan. Hinata mencoba mengumpulkan keberaniannya, mencoba menguatkan hatinya jika memang benar jenazah itu adalah oniisannya. Tapi Hinata tetap harus melihatnya, meski itu berat.
Anggukan pelan Hinata memberikan tanda pada Naruto jika dia sudah siap melihat mayat oniisannya. Tangan kekar Naruto memegang erat pundak Hinata, meski Hinata mengangguk yakin, Naruto tahu dia tidak lah akan kuat.
Perlahan-lahan tangan Hinata membuka kain penutup jenazah yang menutupi seluruh tubuh kaku di depannya. Surai coklat panjang pertama-tama menyapa penglihatan Hinata, kemudian napasnya tertahan, detak jantungna berdetak kencang memompa seluruh darah kepalanya hingga membuat kepalanya terasa membesar.
Hinata melangkah mundur cepat namun tangan naruto menahannya agar tetap berdiri ditempatnya. Tangis Hinata mulai memecah tanpa di perintahkan, dia membalikan badannya dan memeluk dada Naruto.
“Tidak mungkin! Itu tidak mungkin Neji nii-san kan, Naruto?” Tanya Hinata diantara tangisnya tak percaya yang dia lihat adalah onii-sannya.
“Kau harus relakan onii-sanmu, Hinata” kata Naruto menenangkan Hinata dengan balas memeluknya.
“Tidak! Tidak, ti_____” akhirnya Hinata pingsan.
Bersambung...~
Jangan Lupa Like Share Follow Twitter Dan Menjadi Member di blog ini Untuk Mengetahui Posting terbaru dari Blog ini Dengan cara menekan tombol Join This site Oke ...
0 comments:
Post a Comment