
Judul : Matahariku
Chapter 15 :
Author : Kakashy Kyuuga
Disclsimer : Naruto punya om Masashi ^_^
Genre : hurt and romance.
Pairing : Naruhina
Kelopak berwarna tan berkedip pelan, dan perlahan-lahan terbuka. Hembusan napas yang teratur menandakan pemiliknya telah tersadar dari pingsannya, berkali-kali kelopak mata itu berkedip menetralkan penglihatannya. Iris biru safirnya mulai terlihat jelas di balik kelopak berwarna tan itu, helaan napas panjang mengakhiri akititas berkedipnya dan tangannya bergerak menompang tubuhnya untuk bangun.
Naruto tertawa pelan melihat teman-temannya tertidur pulas dengan posisi yang berantakan, sungguh pemandangan yang sudah lama dia tak lihat sejak hampir 3 bulan ini. Naruto merasa aneh dengan suasana rumah sakit yang terasa sunyi, suara jarum detik menyadarkan Naruto akan waktu saat ini.
“Tengah malam?” Tanya Naruto pada dirinya sendiri.
Dia menyibakkan selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, slang-slang infus yang menempel pada kulitnya di lepaskan. Kaki-kakinya masih terasa kaku, entah sudah berapa lama kakinya tak digerakan sampai sekaku ini.
Eh, mau kemana Naruto malam-malam begini?
“Aduh, aku udah gak tahan! Ini sudah di unjung, hampir keluar” kata Naruto gemetaran sambil menyatukan kedua pahanya.
“TOILEEEETTTT!” akhirnya dia lari tunggang langgang menuju wc di kamar rawatnya.
Setelah hampir dua menit didalam wc, Naruto keluar dengan tampang lega namun tetap terlihat pucat. Dia melangkah mendekati sekumpulan orang-orang yang tak tahu adat dalam tidur itu, sebuah senyum dia berikan pada teman-temannya.
“Arigatou mina” ucapnya seraya berjalan menuju pintu dan keluar.
Naruto melangkah pelan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang mulai terlihat sepi, tampak Sakura tengah berjaga di meja piket. Untung tempat yang dia tuju tidak melewati meja piket, karena dia tidak ingin rencananya gagal.
……………………………………………………………..
“Hinata!” sebuah suara membangunkan Hinata dari tidurnya, belaian lembut menyadarkan Hinata akan pemilik suara.
“Na-Naruto kun” sungguh, Hinata ingin duduk dan memeluk pujaan hatinya itu, namun apa daya tenaga kini tak mampu mewujudkannya. “Kau datang, Naruto-kun” Hinata hanya bisa menyambutnya dengan tatapan matanya.
“Iya, Hinata-chan. Aku datang, aku ingin membawamu ke suatu tempat” kata Naruto kemudian dia mengambil kursi roda dan menggondong Hinata dan mendudukannya di kursi roda.
Hinata bisa merasakan detak jantung Naruto yang berdetak normal, suhu badannya yang hangat serta hembusan napasnya yang harum. Perasaannya sersa melayang, terbang diantara bunga-bunga. Dia merasa seperti seorang putri.
“Kita mau kemana, Naruto-kun?” Tanya Hinata penasaran.
“Ke tempat dimana kita pertama kali bertemu” jawab Naruto pelan seraya mendorong kursi roda menuju pintu keluar.
Sepanjang perjalanan mereka saling diam, menikmati kesunyian malam. Menikmati nyanyian suara kendaraan dari kejauhan dan menikmati detakan jarum detik yang bisa kapan saja berhenti. Begitu sampai di lantai teratas, Naruto menggendong Hinata menapaki satu persatu anak tanggga yang akan membawa mereka ke atap.
Saat Naruto menggendongnya untuk kedua kali, Hinata merasa ada yang lain pada diri Naruto. Detak jantungnya melemah, tak seperti saat pertama Naruto menggendongnya. Deru napasnya pun terdengar pelan, seperti ada sesutau yang dia tahan.
Perasaannya tak enak dengan kondisi Naruto saat ini, dia takut Naruto menahan sakit karenanya. Dia tidak ingin Naruto tersisksa karena harus memenuhi janjinya. Tapi kenapa mulutnya tak bisa bergerak untuk menahannya? Seperti terkena genjutsu, Hinata tak berdaya dalam dekapan Naruto padahal dia tahu saat ini kondisi Naruto tak baik. Perasaannya mengatakan biarkan dia melakukan apa yang dia mau.
Kini pintu menuju atap telah terlihat, langkah kaki Naruto berhenti sejenak dan menedang pintu dengan kakinya hingga terbuka. Naruto membawa Hinata ke tengah-tengah atap dan mendudukannya di salah satu kursi yang tersedia disitu.
Entah Hinata harus bingung atau bahagia diperlakukan oleh Naruto seperti itu. Naruto setelah mendudukannya dia kembali mendekap tubuh kurus Hinata kedalam pelukannya, Naruto memeluk Hinata dengan erat seolah ingin menyatu dengannya.
“Naruto-kun____”
“Sssstthh! Aku mohon, tetaplah diam. Tetaplah dalam pelukanku, tetaplah kau disini” kata Naruto memotong kata-kata Hinata, dia tahu Hinata pasti bingung di perlakukan seperti ini oleh Naruto.
“Naruto, jika aku mati lebih dulu darimu. Aku ingin kau ada disisiku____”
“Aku tidak akan membiarkan kau pergi______”
“Biar bagaimana pun aku pasti akan mati juga” potong Hinata.
“Kau jangan egois Hinata_____”
“Kaulah yang egois, Naruto-kun____”
“Aku mungkin tak bisa bertahan lama lagi, mungkin besok atau lusa aku akan mati”
“Kalau begitu, bawa aku bersamamu____”
“Aku tak bisa melakukannya, aku bukan malaikat maut yang bisa tahu kapan matinya seseorang”
“Kalau begitu aku akan memintanya untuk mencabut nyawaku, saat itu juga____”
“Hah, paling-paling aku akan menahannya. Akan ku bilang pada malaikat maut kau hanya sedang bercanda”
“Aku tidak sedang bercanda, Naruto-kun. Bagaimana aku bisa hidup jika matahari yang menyinariku tidak ada, jika kau pergi maka itu adalah kiamat untukku, Naruto-kun”
Naruto terdiam.
“Aku tak ingin pertemuan kita hanya sampai disini. Aku ingin bersama mu, aku ingin berjalan bersama mu. Kau telah mengubahku, senyummu telah menylamatkan ku karena itulah aku tetap bertahan. Aku ingin terus melihat senyummu. Karena aku mencintaimu, Naruto-kun”
“Aku ini adalah seorang yang bodoh dan tak peka, aku tak tahu apa yang aku rasakan ini adalah cinta atau apa, aku hanya tak ingin kehilanganmu, Hinata-chan”
“Tak apa, tak apa jika kau menolak cintaku. Tak apa asal kau ada selalu di sampingku, asal aku terus melihat senyum mentarimu yang menyinari hidupku. Tak apa, aku rela” inner Hinata.
Baik Hinata maupun Naruto kembali terdiam, Naruto kini menidurkan Hinata di paangkuannya sambil membelai rambutnya. “Maafkan aku Hinata____”
Hinata tak mampu melihat wajah Naruto, ada perasaan tak enak setiap dia melihat wajah Naruto. Apa ini adalah sebuah tanda?
Waktu terus berlalu, tak terasa kini Hinata telah tertidur di pangkuan Naruto. Setelah merasa puas menikmati suasana malam di atas atap rumah sakit, akhirnya Naruto membawa kembali Hinata ke ruangannya.
Setelah mengembalikan Hinata ke ruangannya, Naruto segera kembali ke ruangannya, namun di tengah perjalanannya rasa sakit di jantungnya mulai terasa. Dengan susah payan Naruto menyusuri lorong-lorong rumah sakit agar cepat sampai di ruangannya sebelum sesuatu yang tak dia inginkan terjadi.
Ke esokannya.
Seperti biasa Hinata hanya bisa berbaring di atas ranjangnya, hari ini dia terlihat sedikit membaik karena semalam rasa rindunya telah terobati dan beban didalam hatinya telah dia ungkapkan meski Naruto masih saja menggantungnya.
Hari ini adalah jadawal dia melakukan pencucian darah setelah hampir dua minggu dia melakukan pencucian darah, segala persiapan telah mereka lakukan. Namun rencana mereka sedikit terganggu dengan kehadiran Sakura. Dada Hinata berdetak kencang melihat Sakura yang tampak murung, pikiran negatifnya mulai kelayapan memenuhi otaknya.
“Ada apa Sakura-chan?”
“Hinata, Naruto dalam keadaan kritis. Sepertinya semalam penyakitnya makin parah, sekarang mereka tengah melakukan operasi padanya” kata Sakura terdengar sedih.
Hinata mematung tak percaya melihat Sakura, dia tak percaya dengan apa yang di katakana oleh Sakura. Langkah kaki Hinata bergetar melangkah keluar, Sakura pun tak bisa menahannya. Dia tidak ingin menahan Hinata, dia bisa merasakan apa yang saat ini Hinata rasakan.
Hinata melangkah goyah menuju ruang operasi, jalanan yang dia lalui seakan menyempit membuat dadanya terasa sesak. Tanah yang dipijaknya pun terasa bergetar, deraian air mata mengantarnya sepanjang perjalanan.
Dari jauh samar-samar tedengar suara tangis dari arah ruang operasi. Kepala Hinata makin membesar mendengar suara tangis itu, dalam hati dia mengutuknya.
Langkah Hinata tertahan saat dia melihat teman-teman Naruto berdiri cemas di depan ruang operasi, dia melihat Lee menangis sambil memeluk Kiba, sedangkan Kiba terus berusaha menjauhkan wajah penuh ingus darinya. Semnetara Gaara terus mengeluarkan ancaman pada Lee tapi Lee tak bisa menghentikan tangisnya.
Hinata tak mampu melihat pemandangan yang menghancurkan hatinya itu, dia tak sanggup melihat teman-teman Naruto bersedih seperti itu.
“Naruto-kun, kau harus bertahan. Kau harus kuat, jika yang harus mati itu adalah aku. Akan ku gantikan nyawaku dengan nyawamu, ada banyak orang yang akan merasa kehilangan mu. Kau harus bertahan, Naruto-kun" kata Hinata.
Tak lama setelah itu, dokter Tsunade keluar. Dia terlihat sedih. Sementara yang lain menatap penuh harap pada sang dokter.
“Jika dia bisa melewati masa kritisnya, ada kemungkinan dia bisa bertahan. Jika tidak_______”
“TIDAK!” sppontan Hinata berteriak mengagetkan Tsunade dan teman-teman Naruto.
“Hinata?!” yang lainnya kaget melihat Hinata mendekati mereka dengan tertatih-tatih, serentak Sasuke segera mendapatinya dan membantunya berjalan.
“Tolong selamatkan, Naruto-kun”
“Hinata, maafkan aku. Aku tak bisa melakukan apa-apa” jawab Tsunade menunduk sedih, dari sudut matanya mengalir setetes air bening karena sedari tadi dia menahan kesedihannya.
“Dok, ambil saja jantungku. Ganti jantungku dengan jantungnya. Apapun akan ku lakukan asal naruto bisa tetap hidup”
“Aku tahu apa yang kau rasakan, tapi aku bukan Tuhan. Lagian aku tak bisa melakukannya” balas Tsunade pelan namun ada nada putus asa disana.
“Aku mohon, dok. Tolong selamatkan, Naruto”
“Baiklah, jika itu maumu. Tapi sebelumnya kita harus menandatangani beberapa dokumen” kata Tsunade akhirnya.
Hinata melangkah mundur, ada perasaan lega di hatinya. Karena dia akhirnya bisa menolong orang yang telah menyelamatkan hidupnya dari kematian yang sia-sia.
“Naruto, setelah ini aku berharap kau akan bahagia” batin Hinata antara sedih dan bahagia.
Chapter 15 :
Author : Kakashy Kyuuga
Disclsimer : Naruto punya om Masashi ^_^
Genre : hurt and romance.
Pairing : Naruhina
Kelopak berwarna tan berkedip pelan, dan perlahan-lahan terbuka. Hembusan napas yang teratur menandakan pemiliknya telah tersadar dari pingsannya, berkali-kali kelopak mata itu berkedip menetralkan penglihatannya. Iris biru safirnya mulai terlihat jelas di balik kelopak berwarna tan itu, helaan napas panjang mengakhiri akititas berkedipnya dan tangannya bergerak menompang tubuhnya untuk bangun.
Naruto tertawa pelan melihat teman-temannya tertidur pulas dengan posisi yang berantakan, sungguh pemandangan yang sudah lama dia tak lihat sejak hampir 3 bulan ini. Naruto merasa aneh dengan suasana rumah sakit yang terasa sunyi, suara jarum detik menyadarkan Naruto akan waktu saat ini.
“Tengah malam?” Tanya Naruto pada dirinya sendiri.
Dia menyibakkan selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, slang-slang infus yang menempel pada kulitnya di lepaskan. Kaki-kakinya masih terasa kaku, entah sudah berapa lama kakinya tak digerakan sampai sekaku ini.
Eh, mau kemana Naruto malam-malam begini?
“Aduh, aku udah gak tahan! Ini sudah di unjung, hampir keluar” kata Naruto gemetaran sambil menyatukan kedua pahanya.
“TOILEEEETTTT!” akhirnya dia lari tunggang langgang menuju wc di kamar rawatnya.
Setelah hampir dua menit didalam wc, Naruto keluar dengan tampang lega namun tetap terlihat pucat. Dia melangkah mendekati sekumpulan orang-orang yang tak tahu adat dalam tidur itu, sebuah senyum dia berikan pada teman-temannya.
“Arigatou mina” ucapnya seraya berjalan menuju pintu dan keluar.
Naruto melangkah pelan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang mulai terlihat sepi, tampak Sakura tengah berjaga di meja piket. Untung tempat yang dia tuju tidak melewati meja piket, karena dia tidak ingin rencananya gagal.
……………………………………………………………..
“Hinata!” sebuah suara membangunkan Hinata dari tidurnya, belaian lembut menyadarkan Hinata akan pemilik suara.
“Na-Naruto kun” sungguh, Hinata ingin duduk dan memeluk pujaan hatinya itu, namun apa daya tenaga kini tak mampu mewujudkannya. “Kau datang, Naruto-kun” Hinata hanya bisa menyambutnya dengan tatapan matanya.
“Iya, Hinata-chan. Aku datang, aku ingin membawamu ke suatu tempat” kata Naruto kemudian dia mengambil kursi roda dan menggondong Hinata dan mendudukannya di kursi roda.
Hinata bisa merasakan detak jantung Naruto yang berdetak normal, suhu badannya yang hangat serta hembusan napasnya yang harum. Perasaannya sersa melayang, terbang diantara bunga-bunga. Dia merasa seperti seorang putri.
“Kita mau kemana, Naruto-kun?” Tanya Hinata penasaran.
“Ke tempat dimana kita pertama kali bertemu” jawab Naruto pelan seraya mendorong kursi roda menuju pintu keluar.
Sepanjang perjalanan mereka saling diam, menikmati kesunyian malam. Menikmati nyanyian suara kendaraan dari kejauhan dan menikmati detakan jarum detik yang bisa kapan saja berhenti. Begitu sampai di lantai teratas, Naruto menggendong Hinata menapaki satu persatu anak tanggga yang akan membawa mereka ke atap.
Saat Naruto menggendongnya untuk kedua kali, Hinata merasa ada yang lain pada diri Naruto. Detak jantungnya melemah, tak seperti saat pertama Naruto menggendongnya. Deru napasnya pun terdengar pelan, seperti ada sesutau yang dia tahan.
Perasaannya tak enak dengan kondisi Naruto saat ini, dia takut Naruto menahan sakit karenanya. Dia tidak ingin Naruto tersisksa karena harus memenuhi janjinya. Tapi kenapa mulutnya tak bisa bergerak untuk menahannya? Seperti terkena genjutsu, Hinata tak berdaya dalam dekapan Naruto padahal dia tahu saat ini kondisi Naruto tak baik. Perasaannya mengatakan biarkan dia melakukan apa yang dia mau.
Kini pintu menuju atap telah terlihat, langkah kaki Naruto berhenti sejenak dan menedang pintu dengan kakinya hingga terbuka. Naruto membawa Hinata ke tengah-tengah atap dan mendudukannya di salah satu kursi yang tersedia disitu.
Entah Hinata harus bingung atau bahagia diperlakukan oleh Naruto seperti itu. Naruto setelah mendudukannya dia kembali mendekap tubuh kurus Hinata kedalam pelukannya, Naruto memeluk Hinata dengan erat seolah ingin menyatu dengannya.
“Naruto-kun____”
“Sssstthh! Aku mohon, tetaplah diam. Tetaplah dalam pelukanku, tetaplah kau disini” kata Naruto memotong kata-kata Hinata, dia tahu Hinata pasti bingung di perlakukan seperti ini oleh Naruto.
“Naruto, jika aku mati lebih dulu darimu. Aku ingin kau ada disisiku____”
“Aku tidak akan membiarkan kau pergi______”
“Biar bagaimana pun aku pasti akan mati juga” potong Hinata.
“Kau jangan egois Hinata_____”
“Kaulah yang egois, Naruto-kun____”
“Aku mungkin tak bisa bertahan lama lagi, mungkin besok atau lusa aku akan mati”
“Kalau begitu, bawa aku bersamamu____”
“Aku tak bisa melakukannya, aku bukan malaikat maut yang bisa tahu kapan matinya seseorang”
“Kalau begitu aku akan memintanya untuk mencabut nyawaku, saat itu juga____”
“Hah, paling-paling aku akan menahannya. Akan ku bilang pada malaikat maut kau hanya sedang bercanda”
“Aku tidak sedang bercanda, Naruto-kun. Bagaimana aku bisa hidup jika matahari yang menyinariku tidak ada, jika kau pergi maka itu adalah kiamat untukku, Naruto-kun”
Naruto terdiam.
“Aku tak ingin pertemuan kita hanya sampai disini. Aku ingin bersama mu, aku ingin berjalan bersama mu. Kau telah mengubahku, senyummu telah menylamatkan ku karena itulah aku tetap bertahan. Aku ingin terus melihat senyummu. Karena aku mencintaimu, Naruto-kun”
“Aku ini adalah seorang yang bodoh dan tak peka, aku tak tahu apa yang aku rasakan ini adalah cinta atau apa, aku hanya tak ingin kehilanganmu, Hinata-chan”
“Tak apa, tak apa jika kau menolak cintaku. Tak apa asal kau ada selalu di sampingku, asal aku terus melihat senyum mentarimu yang menyinari hidupku. Tak apa, aku rela” inner Hinata.
Baik Hinata maupun Naruto kembali terdiam, Naruto kini menidurkan Hinata di paangkuannya sambil membelai rambutnya. “Maafkan aku Hinata____”
Hinata tak mampu melihat wajah Naruto, ada perasaan tak enak setiap dia melihat wajah Naruto. Apa ini adalah sebuah tanda?
Waktu terus berlalu, tak terasa kini Hinata telah tertidur di pangkuan Naruto. Setelah merasa puas menikmati suasana malam di atas atap rumah sakit, akhirnya Naruto membawa kembali Hinata ke ruangannya.
Setelah mengembalikan Hinata ke ruangannya, Naruto segera kembali ke ruangannya, namun di tengah perjalanannya rasa sakit di jantungnya mulai terasa. Dengan susah payan Naruto menyusuri lorong-lorong rumah sakit agar cepat sampai di ruangannya sebelum sesuatu yang tak dia inginkan terjadi.
Ke esokannya.
Seperti biasa Hinata hanya bisa berbaring di atas ranjangnya, hari ini dia terlihat sedikit membaik karena semalam rasa rindunya telah terobati dan beban didalam hatinya telah dia ungkapkan meski Naruto masih saja menggantungnya.
Hari ini adalah jadawal dia melakukan pencucian darah setelah hampir dua minggu dia melakukan pencucian darah, segala persiapan telah mereka lakukan. Namun rencana mereka sedikit terganggu dengan kehadiran Sakura. Dada Hinata berdetak kencang melihat Sakura yang tampak murung, pikiran negatifnya mulai kelayapan memenuhi otaknya.
“Ada apa Sakura-chan?”
“Hinata, Naruto dalam keadaan kritis. Sepertinya semalam penyakitnya makin parah, sekarang mereka tengah melakukan operasi padanya” kata Sakura terdengar sedih.
Hinata mematung tak percaya melihat Sakura, dia tak percaya dengan apa yang di katakana oleh Sakura. Langkah kaki Hinata bergetar melangkah keluar, Sakura pun tak bisa menahannya. Dia tidak ingin menahan Hinata, dia bisa merasakan apa yang saat ini Hinata rasakan.
Hinata melangkah goyah menuju ruang operasi, jalanan yang dia lalui seakan menyempit membuat dadanya terasa sesak. Tanah yang dipijaknya pun terasa bergetar, deraian air mata mengantarnya sepanjang perjalanan.
Dari jauh samar-samar tedengar suara tangis dari arah ruang operasi. Kepala Hinata makin membesar mendengar suara tangis itu, dalam hati dia mengutuknya.
Langkah Hinata tertahan saat dia melihat teman-teman Naruto berdiri cemas di depan ruang operasi, dia melihat Lee menangis sambil memeluk Kiba, sedangkan Kiba terus berusaha menjauhkan wajah penuh ingus darinya. Semnetara Gaara terus mengeluarkan ancaman pada Lee tapi Lee tak bisa menghentikan tangisnya.
Hinata tak mampu melihat pemandangan yang menghancurkan hatinya itu, dia tak sanggup melihat teman-teman Naruto bersedih seperti itu.
“Naruto-kun, kau harus bertahan. Kau harus kuat, jika yang harus mati itu adalah aku. Akan ku gantikan nyawaku dengan nyawamu, ada banyak orang yang akan merasa kehilangan mu. Kau harus bertahan, Naruto-kun" kata Hinata.
Tak lama setelah itu, dokter Tsunade keluar. Dia terlihat sedih. Sementara yang lain menatap penuh harap pada sang dokter.
“Jika dia bisa melewati masa kritisnya, ada kemungkinan dia bisa bertahan. Jika tidak_______”
“TIDAK!” sppontan Hinata berteriak mengagetkan Tsunade dan teman-teman Naruto.
“Hinata?!” yang lainnya kaget melihat Hinata mendekati mereka dengan tertatih-tatih, serentak Sasuke segera mendapatinya dan membantunya berjalan.
“Tolong selamatkan, Naruto-kun”
“Hinata, maafkan aku. Aku tak bisa melakukan apa-apa” jawab Tsunade menunduk sedih, dari sudut matanya mengalir setetes air bening karena sedari tadi dia menahan kesedihannya.
“Dok, ambil saja jantungku. Ganti jantungku dengan jantungnya. Apapun akan ku lakukan asal naruto bisa tetap hidup”
“Aku tahu apa yang kau rasakan, tapi aku bukan Tuhan. Lagian aku tak bisa melakukannya” balas Tsunade pelan namun ada nada putus asa disana.
“Aku mohon, dok. Tolong selamatkan, Naruto”
“Baiklah, jika itu maumu. Tapi sebelumnya kita harus menandatangani beberapa dokumen” kata Tsunade akhirnya.
Hinata melangkah mundur, ada perasaan lega di hatinya. Karena dia akhirnya bisa menolong orang yang telah menyelamatkan hidupnya dari kematian yang sia-sia.
“Naruto, setelah ini aku berharap kau akan bahagia” batin Hinata antara sedih dan bahagia.
Bersambung....~
Jangan Lupa Like Share Follow Twitter Dan Menjadi Member di blog ini Untuk Mengetahui Posting terbaru dari Blog ini Dengan cara menekan tombol Join This site Oke ...
0 comments:
Post a Comment